Minggu, 17 Februari 2013

Soekarno - Sejarah yang tak memihak




Like Yang Banyak Untuk Pahlawan Kita

Malam minggu. Hawa panas dan angin
seolah diam tak berhembus. Malam
ini saya bermalam di rumah ibu saya.
Selain rindu masakan sambel
goreng ati yang dijanjikan, saya juga
ingin ia bercerita mengenai
Presiden Soekarno. Ketika semua mata
saat ini sibuk tertuju, seolah
menunggu saat saat berpulangnya
Soeharto, saya justrulebih tertarik
mendengar penuturan saat berpulang
Sang proklamator. Karena orang tua
saya adalah salah satu orang yang
pertama tama bisa melihat secara
langsung jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang
baru pulang berbelanja, mendapatkan
Bapak ( almarhum ) sedang menangis
sesenggukan.
" Pak Karno seda " ( meninggal )
Dengan menumpangkendaraan militer
mereka bisa sampai di Wisma Yaso.
Suasana sungguh sepi. Tidak ada
penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3
truk berisi prajurit Marinir ( dulu
KKO ). Saat itu memang Angkatan
Laut, khususnya KKOsangat loyal
terhadap Bung Karno. Jenderal KKO
Hartono - Panglima KKO - pernah
berkata ,
" Hitam kata Bung Karno, hitam kata
KKO. Merah kata Bung Karno, merah
kata KKO "
Banyak prediksi memperkirakan
seandainya saja Bung Karno menolak
untuk
turun, dia dengan mudah akan melibas
Mahasiswa dan Pasukan Jendral
Soeharto, karena diamasih didukung
oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa
divisi Angkatan Darat seperti
Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan
panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta
terhadap negara ini. Sedikitpun ia
tidak mau memilih opsi pertumpahan
darah sebuah bangsa yang telah
dipersatukan dengan susah payah.Ia
memilih sukarela turun, dan
membiarkan dirinyamenjadi tumbal
sejarah.
The winner takes it all. Begitulah
sang pemenang tak akan sedikitpun
menyisakan ruang bagi mereka yang
kalah. Soekarno harus meninggalkan
istana pindah ke istana Bogor . Tak
berapa lama datang surat dari
Panglima Kodam Jaya - Mayjend Amir
Mahmud - disampaikan jam 8 pagi
yang meminta bahwa Istana Bogor harus
sudah dikosongkan jam 11 siang.
Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno
mengumpulkan pakaian dan barang
barang yang dibutuhkan serta
membungkusnya dengan kain sprei. Barang
barang lain semuanya ditinggalkan.
" Het is niet meer mijn huis " -
sudahlah, ini bukan rumah saya lagi ,
demikian Bung Karno menenangkan
istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno
pindah ke Istana Batu Tulis
sebelum akhirnya dimasukan kedalam
karantina di Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis
dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie
diasingkan menjadi dubes di London .
Jendral KKO Hartono secara
misterius mati terbunuh di rumahnya.
Kembali ke kesaksian yang diceritakan
ibu saya. Saat itu belum banyak
yang datang, termasuk keluarga Bung
Karno sendiri. Tak tahu apa mereka
masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah
dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan
kamar yang suram, terbaring sang
proklamator yang separuh hidupnya
dihabiskan di penjara dan pembuangan
kolonial Belanda. Terbujur dan
mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta! dan
Ali Sadikin - Gubernur Jakarta -
yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan
sarung lurik warna merah serta
baju hem coklat. Wajahnya bengkak
bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang
bersih, dingin berAC dan penuh
dengan alat alat medis disebelah
tempat tidurnya. Yang ada hanya
termos dengan gelaskotor, serta
sesisir buah pisang yang sudah hitam
dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk.
Kamar itu agak luas, dan
jendelanya blong tidak ada gordennya.
Dari dalam bisa terlihat halaman
belakang yang ditumbuhi rumput alang
alang setinggi dada manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat.
Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet
di lantai di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa
orang disana sungkem kepada jenasah,
sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra
datang, dan juga orang orang
lain.
Namun Pemerintah orde baru juga
kebingungan kemana hendak dimakamkan
jenasah proklamator. Walau dalam Bung
Karno berkeingan agar kelak
dimakamkan di Istana Batu Tulis,
Bogor . Pihak militertetap tak mau
mengambil resiko makam seorang
Soekarno yang berdekatan dengan ibu
kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya
sebagai peristirahatan
terakhir. Tentu saja Presiden Soeharto
tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas
wakil komandan Cakrabirawa,
" Bung karno diinterogasi oleh Tim
Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara
yang amat kasar, dengan memukul
mukul meja dan memaksakan jawaban.
Akibat perlakuan kasar terhadap
Bung Karno, penyakitnya makin parah
karena memang tidak mendapatkan
pengobatan yang seharusnya diberikan. "
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta
1966 )
dr. Kartono Mohamad yang pernah
mempelajari catatantiga perawat Bung
Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9
Juni 1970 serta mewancarai dokter
Bung Karno berkesimpulan telahterjadi
penelantaran. Obat yang
diberikan hanya vitamin B, B12 dan
duvadillan untuk mengatasi
penyempitan darah. Padahal penyakitnya
gangguan fungsi ginjal.



Semoga Bermamfaat

0 komentar:

Posting Komentar

Untuk Kemajuan dan Keterbaruannya Page ini,Mohon Tinggalkan "Komentar".
Perhatian :Jangan meninggalkan pesan atau komentar dengan isi tidak lazim dan kurang patut untuk di baca....

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites